Secara akuntansi, pajak itu dicatat hanya dalam tiga posisi: sebagai utang, sebagai piutang, dan/atau langsung dibiayakan.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. Ketika kita memungut dari pelanggan PPN sebesar 10%, maka jurnalnya:
(D) Kas/piutang 11.000.000
(K) Pendapatan 10.000.000
(K) PPN Keluaran 1.000.000
Dalam jurnal di atas, PPN diposisikan sebagai utang yang nanti akan disetor ke negara. Disajikan di neraca sebelah kanan pada item kewajiban (utang).
Jurnalnya ketika disetor:
(D) PPN Keluaran 1.000.000
(K) Kas 1.000.000
Perlu diingat, dalam PPN ada juga yang namanya PPN Masukan: PPN yang dipungut perusahaan lain ketika kita menjadi pelanggannya.
Jurnalnya:
(D) Persediaan 5.000.000
(D) PPN Masukan 500.000
(K) Kas 5.500.000
Dalam jurnal di atas, PPN diposisikan sebagai piutang yang bisa dikompensasikan (dipotongkan) dengan PPN Keluaran. Disajikan di neraca sebelah kiri pada item aktiva.
Jurnalnya:
(D) PPN Keluaran 1.000.000
(K) PPN Masukan 500.000
(K) Kas 500.000
Bisa dikompensasikan inilah yang dalam istilah lain disebut dikreditkan. Maksudnya: PPN masukan yang saldonya di debit kemudian di taruh di sebelah kredit (dikreditkan) untuk dikompensasikan dengan PPN Keluaran.
Contoh lain: PPh 29 (PPh Badan) senilai 25% dari laba kena pajak.
Jurnalnya:
(D) PPh Badan 100.000.000
(K) Kas 100.000.000
Dalam jurnal di atas, PPh Badan langsung dibiayakan dan disajikan di Laporan Rugi/Laba.
Perlu diingat, ada juga PPh yang bisa dikompensasikan (dikreditkan) dengan PPh 29, seperti PPh 23. Makanya, PPh 23 ketika diakui harus dijurnal sebagai piutang.
Namun, perlu juga diingat, ada PPh yang tidak bisa dikompensasikan dengan PPh 29, seperti PPh 22, dan lainnya (susah dihapal, lihat saja aturannya). PPh yang tidak bisa dikompensasikan inilah yang diistilahkan sebagai PPh final yang ketika dijurnal langsung dibiayakan.
Semoga bisa dimengerti penjelasan yang rumit di atas. Hehehe.....
Terimakasih penjelasan nya kak
BalasHapusWah saya tercerahkan. Trims kak !
BalasHapus