Senin, 25 Maret 2013

Pajak dan Akuntansi

Pajak itu secara administrasi sederhana saja, hanya ada tiga tahapan: hitung, bayar, dan lapor.

Hitung. Apa yang dihitung? Ada dua: pajak yang akan disetor (bahasa akuntansinya: pajak yang terutang) dan pajak yang bisa dikompensasikan dengan pajak yang akan disetor (bahasa akuntansinya: pajak yang dikreditkan).

Dasar menghitung pajak adalah aturan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aturan tarif 'tak perlu dihapal, download saja melalui internet lalu baca. Dalam dunia praktik, mencontek itu tidak dilarang.

Bayar. Kalau -setelah dihitung- pajak yang terutang tidak ada maka tidak perlu ada yang dibayar. Kalau pajak yang terutang ada, dilihat dulu apakah ada pajak yang dikreditkan: kalau pajak yang terutang lebih besar dibandingkan pajak yang dikreditkan maka selisihnya harus dibayar, jika lebih kecil maka tinggal dikompensasikan saja, tidak perlu ada yang dibayar.

Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan dokumen Surat Setoran Pajak (SSP). Transaksi pembayaran dilakukan melalui Bank atau Kantor Pos yang ditunjuk pemerintah. Dokumen SSP bisa di-download melalui internet.

Lapor. Pelaporan pajak dilakukan dengan menggunakan dokumen Surat Pemberitahuan (SPT). Dokumen SPT juga bisa di-download melalui internet.

Kalau pajak yang terutang tidak ada maka SPT terlapor nihil. Kalau pajak yang terutang lebih besar dibandingkan pajak yang dikreditkan maka SPT terlapor kurang bayar, kalau lebih kecil maka SPT terlapor lebih bayar. Lebih bayar bisa diklaim melalui prosedur restitusi. 

Jangan berharap bisa melakukan restitusi dengan mudah, jalannya panjang dan berliku. Bahkan ada praktisi pajak yang mengatakan bahwa restitusi itu cuma teori dan aturan di atas kertas belaka.

Biar lebih jelas, kita contohkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak atas pendapatan. Tarifnya 10% dari pendapatan. Dibebankan kepada perusahaan yang sudah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dokumen PPN disebut Faktur Pajak Standar.

Pada PPN, pajak yang akan disetor (terutang) disebut sebagai PPN Keluaran dan pajak yang bisa dikompensasikan (dikreditkan) disebut PPN Masukan.

Misalnya: PT X membeli mobil dari pabrik senilai Rp 50 juta. Jurnalnya:

Persediaan Mobil    Rp 50.000.000
PPN Masukan        Rp 5.000.000
    Bank                        Rp 55.000.000

PT X kemudian menjual mobil itu seharga Rp 100 juta. Jurnalnya:

Bank                       Rp 110.000.000
    Penjualan                Rp 100.000.000
    PPN Keluaran          Rp 10.000.000
HPP Mobil              Rp 50.000.000
    Persediaan Mobil      Rp 50.000.000

PPN Keluaran senilai Rp 10 juta bisa dikompensasikan dengan PPN Masukan senilai Rp 5 juta, selisihnya senilai Rp 5 juta harus dibayar oleh PT X. Jurnalnya:

PPN Keluaran        Rp 10.000.000
    PPN Masukan           Rp 5.000.000
    Bank                        Rp 5.000.000