Senin, 17 Juni 2013

Defenisi dan Jenis Aset

Aset adalah harta yang diperoleh dari transaksi masa lalu, dimiliki, dikuasai, dikendalikan, dan dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk kegiatan bisnis-ekonomi.

Aset dalam Neraca berada di posisi sebelah kiri, dalam kolom aktiva. Aktiva (bahasa Jerman) sendiri tidak sama artinya dengan aset. Aktiva atau aktif hanyalah antonim dari pasiva, pasif.

Aktiva (aktif) adalah representasi dari manajemen, pihak yang secara aktif dapat memanfaatkan aset. Pasiva (pasif) adalah representasi dari investor dan kreditor, dua pihak pasif yang menjadi sumber aset.

*****

Aset ada dua: pertama, aset lancar. Kata lancar mengacu pada tingkat likuiditas (kecepatan cair) aset. Makanya, dalam Neraca, kas dan bank menempati urutan satu dan dua karena tingkat likuiditasnya yang tinggi. Selanjutnya ada piutang usaha, persediaan, dan perlengkapan kantor. 

Kedua, aset tetap. Kata tetap mengacu pada tingkat kekekalan (ketahanan) aset. Makanya, dalam neraca, tanah dan gedung menepati urutan satu dan dua karena tingkat ketahanannya yang lama. Selanjutnya ada peralatan & mesin dan inventaris kantor.

Senin, 10 Juni 2013

Salah Catat Penjualan, Ini Jurnal Koreksinya

Pada tahun 2011, dicatat penjualan 5 unit mobil bekas kepada Jusuf senilai Rp 100 juta (harga per unit mobil senilai Rp 20 juta). Jurnalnya:

Piutang Jusuf        100.000.000
    Penjualan              100.000.000

Pada akhir tahun 2011, penjualan di-closing ke akun Laba ditahan. Jurnal penutupnya:

Penjualan             100.000.000
    Laba ditahan         100.000.000

Dalam perjalanannya, piutang Jusuf terbayar senilai Rp 80 juta. Jadi, sisa Piutang Jusuf senilai Rp 20 juta.
Jurnalnya:

Bank                    80.000.000
    Piutang Jusuf         80.000.000

Pada 2012, ternyata disadari bahwa harga satuan mobil yang benar senilai Rp 30 juta, sehingga harga total yang benar senilai Rp 150 juta. Artinya apa, ada penjualan senilai Rp 50 juta yang tidak tercatat.

Bagaimana jurnal koreksinya? Apakah dicatat dengan jurnal berikut:

Piutang Jusuf        50.000.000
    Penjualan              50.000.000

Jawabannya tidak. Transaksi penjualan pada 2011 tidak boleh dicatat pada 2012 karena sudah di-closing dan sudah tidak sesuai dengan sejarahnya (history). Jurnal yang tepat adalah:

Piutang Jusuf        50.000.000
    Laba ditahan        50.000.000

Piutang Jusuf bertambah Rp 50 juta, sehingga menjadi Rp 70 juta, begitu juga Laba ditahan menjadi Rp 150 juta.

Kejadian ini sangat langka, tapi kalau terjadi, beginilah jurnal koreksinya.

Minggu, 09 Juni 2013

Laporan Keuangan Interim

Interim adalah kata dalam bahasa Inggris yang berarti sementara. Jadi, Laporan Keuangan Interim dapat diartikan sebagai Laporan Keuangan Sementara.

Logikanya: karena ada Laporan Keuangan Sementara berarti ada Laporan Keuangan Final.

Ya betul, Laporan Keuangan Final adalah laporan keuangan yang melingkupi satu periode akuntansi, yaitu satu tahun. Laporan keuangan ini akrab disebut sebagai Laporan Keuangan Tahunan.

Artinya apa, semua laporan keuangan selain Laporan Keuangan Final (Tahunan), entah itu harian, bulanan, triwulan atau semester, dapat disebut sebagai Laporan Keuangan Interim.

Lebih jelas tentang Laporan Keuangan Interim, silahkan baca Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 3.

Rabu, 15 Mei 2013

Beda PPh 25 Dengan PPh 29

Apa bedanya PPh 25 dengan PPh 29? Jawabannya: serupa tapi tidak sama. Serupanya, keduanya sama-sama PPh Badan, pajak atas laba perusahaan. Tidak samanya, berikut penjelasannya:

Dalam praktiknya, PPh badan bisa dicicil selama periode pajak tahun berjalan. Tujuannya sederhana: bagi wajib pajak, cicilan itu dapat meringankan beban pajak di akhir tahun; bagi pemerintah, cicilan itu mempercepat uang masuk ke kas negara.

Bagaimana cara mencicilnya? Nilai PPh Badan tahun sebelumnya dijadikan dasar, dibagi 12 bulan lalu dicicil setiap bulan.

Contohnya: Sekarang tahun 2013. Diketahui, PPh badan tahun 2012 yang lalu senilai Rp 12 juta (laba kena pajak 2012 dikalikan 25%).

Nilai Rp 12 juta itu kemudian dijadikan dasar untuk mencicil PPh Badan 2013. Caranya dibagi 12 bulan lalu dicicil setiap bulan. Yang berarti Rp 1 juta setiap bulannya.

Secara akuntansi, cicilan itu dijurnal sebagai berikut:

Uang Muka PPh Badan    Rp 1.000.000
    Bank                                  Rp 1.000.000

Jurnal itu dilakukan setiap bulan sehingga ledger Uang Muka PPh Badan pada akhir tahun 2013 nanti bersaldo Rp 12 juta.

Tibalah pada akhir tahun. Setelah dihitung PPh Badan 2013 rill, ditemukan nilai Rp 15 juta (laba kena pajak 2013 dikalikan 25%).

PPh Badan yang perlu dibayar sisa Rp 3 juta karena Rp 12 juta sudah dibayar sebelumnya. Jurnalnya sebagai berikut:

PPh Badan                       Rp 15.000.000
    Uang Muka PPh Badan    Rp 12.000.000
    Bank                                Rp 3.000.000

Mekanisme cicilan senilai Rp 12 juta, itulah PPh 25. Makanya pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh 25.

Hitungan riil pajak senilai Rp 15 juta dan pembayaran senilai Rp 3 juta, itulah PPh 29. Makanya pembayarannya dilakukan dengan menggunakan SSP PPh 29.

Senin, 25 Maret 2013

Pajak dan Akuntansi

Pajak itu secara administrasi sederhana saja, hanya ada tiga tahapan: hitung, bayar, dan lapor.

Hitung. Apa yang dihitung? Ada dua: pajak yang akan disetor (bahasa akuntansinya: pajak yang terutang) dan pajak yang bisa dikompensasikan dengan pajak yang akan disetor (bahasa akuntansinya: pajak yang dikreditkan).

Dasar menghitung pajak adalah aturan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aturan tarif 'tak perlu dihapal, download saja melalui internet lalu baca. Dalam dunia praktik, mencontek itu tidak dilarang.

Bayar. Kalau -setelah dihitung- pajak yang terutang tidak ada maka tidak perlu ada yang dibayar. Kalau pajak yang terutang ada, dilihat dulu apakah ada pajak yang dikreditkan: kalau pajak yang terutang lebih besar dibandingkan pajak yang dikreditkan maka selisihnya harus dibayar, jika lebih kecil maka tinggal dikompensasikan saja, tidak perlu ada yang dibayar.

Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan dokumen Surat Setoran Pajak (SSP). Transaksi pembayaran dilakukan melalui Bank atau Kantor Pos yang ditunjuk pemerintah. Dokumen SSP bisa di-download melalui internet.

Lapor. Pelaporan pajak dilakukan dengan menggunakan dokumen Surat Pemberitahuan (SPT). Dokumen SPT juga bisa di-download melalui internet.

Kalau pajak yang terutang tidak ada maka SPT terlapor nihil. Kalau pajak yang terutang lebih besar dibandingkan pajak yang dikreditkan maka SPT terlapor kurang bayar, kalau lebih kecil maka SPT terlapor lebih bayar. Lebih bayar bisa diklaim melalui prosedur restitusi. 

Jangan berharap bisa melakukan restitusi dengan mudah, jalannya panjang dan berliku. Bahkan ada praktisi pajak yang mengatakan bahwa restitusi itu cuma teori dan aturan di atas kertas belaka.

Biar lebih jelas, kita contohkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak atas pendapatan. Tarifnya 10% dari pendapatan. Dibebankan kepada perusahaan yang sudah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dokumen PPN disebut Faktur Pajak Standar.

Pada PPN, pajak yang akan disetor (terutang) disebut sebagai PPN Keluaran dan pajak yang bisa dikompensasikan (dikreditkan) disebut PPN Masukan.

Misalnya: PT X membeli mobil dari pabrik senilai Rp 50 juta. Jurnalnya:

Persediaan Mobil    Rp 50.000.000
PPN Masukan        Rp 5.000.000
    Bank                        Rp 55.000.000

PT X kemudian menjual mobil itu seharga Rp 100 juta. Jurnalnya:

Bank                       Rp 110.000.000
    Penjualan                Rp 100.000.000
    PPN Keluaran          Rp 10.000.000
HPP Mobil              Rp 50.000.000
    Persediaan Mobil      Rp 50.000.000

PPN Keluaran senilai Rp 10 juta bisa dikompensasikan dengan PPN Masukan senilai Rp 5 juta, selisihnya senilai Rp 5 juta harus dibayar oleh PT X. Jurnalnya:

PPN Keluaran        Rp 10.000.000
    PPN Masukan           Rp 5.000.000
    Bank                        Rp 5.000.000