Kamis, 18 Juni 2020

Banyak Aset, Tapi Kok Ngutang?

Pada 2017 silam, Menkeu Sri berkalimat kepada media: buat apa takut utang, kita banyak aset kok.

Sebagai lelaki yang tujuh tahun kuliah Akuntansi tanpa ikut wisuda sehingga tidak bisa ikut wisuda challenge ala Dian Sastro, kalimat Menkeu Sri itu cukup menggelitik.

Kenapa? Karena logika Akuntansi membisikkan: aset yang banyaklah yang dipakai mencari uang, menghasilkan untung, dan memperkuat modal. Kalau aset banyak tapi kemudian harus ngutang, berarti ada yang salah dengan aset itu.

Saya pun coba mencari-cari: apa yang salah dengan aset milik Indonesia? Ternyata, salah satu jawabannya: aset yang dimiliki negeri ini adalah aset yang "tidak diharapkan."

Maksudnya? Aset negara ini adalah sumber daya alam. Idealnya dikelola dengan agraria dan wisata. Tapi Pemerintah lebih menginginkan industrial. Bangun pabrik-pabrik, bangun infrastruktur.

Untuk mewujudkan industrial itu, hanya asing yang bisa membantu. Negeri ini belum mampu. Kita pun mau tidak mau ngutang dari mereka.

Celakanya, sumber daya manusia Indonesia, kita-kita ini, lebih condong ke industrial daripada agraria. Dan mekanismenya sangat alami terjadi sejak kita masuk sekolah dasar.

Sawah-sawah ditimbun. Pabrik pun terbangun di atasnya. Bukit-bukit dikeruk. Hasil kerukannya jadi timbunan infrastruktur.

Apakah tindakan kita itu benar? Wabah corona setidaknya memberikan kita pukulan telak: industrial tidak ada apa-apanya. Hampir semuanya tumbang. Justru agrarialah yang membuat kita mampu bertahan.

Dan seketika, Presiden Jokowi langsung menggalakkan gerakan mencetak sawah. Padahal sebelumnya, infrastruktur yang kuat selalu didengungkannya.

*****

Saya tutup tulisan ini dengan lirik berikut yang mudah-mudahan relevan dengan keadaan:

Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki adanya

Kau lebih suka membangun rumah, merampas tanah
Kau lebih suka membangun jalan raya, membangun pagar besi

(Bunga dan Tembok - Wijhi Tukul)